Posting Terbaru

Bersepeda dan Mendaki Gunung Cupu

Sabtu, 17 Oktober 2009
Perjalanan ke gunung Cupu Plered Purwakarta cukup menguras tenagaku. Jalannya yang lumayan nanjak, ditambah lagi perjalanan mendaki untuk bisa sampai di puncak tebing gunung Cupu lengkap sudah petualangan kali ini. Cukup melelahkan memang, tapi semua itu terbayar lunas oleh indahnya pemandangan di atas puncak tebing gunung Cupu. Sejauh mata memandang semuanya terlihat jelas dan luas.

Setelah Asep, Qnoy dan Utut batal ikut akhirnya aku berangkat sendiri. Pagi-pagi sekali sekitar jam 6 aku berangkat, dengan semangat 45 kukayuh sepedaku sengaja agar bisa lebih cepat sampai di tujuan. Jalanan pagi itu masih terlihat lengang belum banyak terlihat kendaraan yang berlalu-lalang. Tanjakan demi tanjakan aku lalui. Selepas melewati tanjakan Cijantung, sejenak aku beristirahat tuk sekedar menarik napas dan membasahi tenggorakanku yang kering.

Cukup lama juga aku beristirahat. Jalanan pun sudah mulai ramai dengan kendaraan yang berlalu-lalang. Usai beristirahat perjalanan aku lanjutkan kembali. Satu jam kemudian aku pun sampai di Cianting. Puncak tebing cupu dari jalan raya Cianting sudah mulai terlihat. Di atasnya terlihat jelas ada batu besar yang kelihatannya seperti mau jatuh. Bila Anda hendak ke Bandung lewat jalan raya Purwakarta-Bandung, secara reflek Anda pasti akan melihat puncak tebing gunung cupu ini. Dari jalan raya Cianting aku masih harus berjalan sejauh kurang lebih  4 km lagi melewati perkampungan menuju ke tebing cupu. Jadi total perjalanan yang aku tempuh kali ini sekitar tiga jam.



Sekilas Tentang Tebing Cupu : Tebing Cupu adalah salah satu tebing yang sering digunakan untuk latihan pemanjatan tebing oleh para penggiat pecinta alam. Baik itu oleh para pemanjat sekitar Purwakarta sendiri ataupun oleh para pemanjat dari luar daerah Purwakarta. Letaknya berada di Desa Cianting, perbatasan antara Kec. Sukatani dan Kec. Plered Purwakarta.

Setibanya di sana aku langsung melanjutkan pendakian ke puncak tebing Cupu. Tebing Cupu memiliki ketinggian sekitar 300 mdpl. sehingga bisa didaki hanya dengan waktu kurang lebih 1 jam (bila tanpa bawa sepeda).

Jam 9.30 aku mulai mendaki. Cuaca yang terik menyergap ku menjelang pendakian. Keringat pun membasahahi pakaian yang aku kenakan. Menjelang puncak, trek yang aku lalui semakin sulit sehingga sepeda pun terpaksa aku tinggal. Dan rencana ingin berfoto bareng sepeda di atas puncak pun sirna. Tambah iseng sesampainya di puncak ku otomatiskan kamera, sedikit narsiss! hehehe...

Selepas tanjakkan cijantung sejenak ku sandarkan sepeda tuk beristirahat.





























Jalan Raya Purwakarta-Bandung terlihat jelas di atas puncak tebing cupu.















Sejarah Sepeda

Sejarah sepeda bermula di Eropa. Sekitar tahun 1790, sebuah sepeda pertama berhasil dibangun di Inggris. Cikal bakal sepeda ini diberi nama Hobby Horses dan Celeriferes.

Keduanya belum punya mekanisme sepeda zaman sekarang, batang kemudi dan sistem pedal. Yang ada hanya dua roda pada sebuah rangka kayu. Bisa dibayangkan, betapa canggung dan besar tampilan kedua sepeda tadi. Meski begitu, mereka cukup menolong orang-orang – pada masa itu – untuk berjalan. Penemuan fenomenal dalam kisah masa lalu sepeda tercipta berkat Baron Karl Von Drais.

Von Drais yang tercatat sebagai mahasiswa matematik dan mekanik di Heidelberg, Jerman berhasil melakukan terobosan penting, yang ternyata merupakan peletak dasar perkembangan sepeda selanjutnya. Oleh Von Drais, Hobby Horse dimodifikasi hingga mempunyai mekanisme kemudi pada bagian roda depan. Dengan mengambil tenaga gerak dari kedua kaki, Von Drais mampu meluncur lebih cepat saat berkeliling kebun. Ia sendiri menyebut kendaraan ini dengan nama, Draisienne. Beritanya sendiri dimuat di koran lokal Jerman pada 1817.

Proses penciptaan selanjutnya dilakukan Kirkpatrick Macmillan. Pada tahun 1839, ia menambahkan batang penggerak yang menghubungkan antara roda belakang dengan ban depan Draisienne. Untuk menjalankannya, tinggal mengayuh pedal yang ada. James Starley mulai membangun sepeda di Inggris di tahun 1870. Ia memproduksi sepeda dengan roda depan yang sangat besar (high wheel bicycle) sedang roda belakangnya sangat kecil. Sepeda jenis ini sangat populer di seluruh Eropa. Sebab Starley berhasil membuat terobosan dengan mencipta roda berjari-jari dan metode cross-tangent. Sampai kini, kedua teknologi itu masih terus dipakai. Buntutnya, sepeda menjadi lebih ringan untuk dikayuh.
Sayangnya, sepeda dengan roda yang besar itu memiliki banyak kekurangan. Ini menjadi dilema bagi orang-orang yang berperawakan mungil dan wanita. Karena posisi pedal dan jok yang cukup tinggi, mereka mengeluhkan kesulitan untuk mengendarainya. Sampai akhirnya, keponakan James Starley, John Kemp Starley menemukan solusinya. Ia menciptakan sepeda yang lebih aman untuk dikendarai oleh siapa saja pada 1886. Sepeda ini sudah punya rantai untuk menggerakkan roda belakang dan ukuran kedua rodanya sama.

Namun penemuan tak kalah penting dilakukan John Boyd Dunlop pada 1888. Dunlop berhasil menemukan teknologi ban sepeda yang bisa diisi dengan angin (pneumatic tire). Dari sinilah, awal kemajuan sepeda yang pesat. Beragam bentuk sepeda berhasil diciptakan. Seperti diketahui kemudian, sepeda menjadi kendaraan yang mengasyikkan.

Di Indonesia, perkembangan sepeda banyak dipengaruhi oleh kaum penjajah, terutama Belanda. Mereka memboyong sepeda produksi negerinya untuk dipakai berkeliling menikmati segarnya alam Indonesia. Kebiasaan itu menular pada kaum pribumi berdarah biru. Akhirnya, sepeda jadi alat transpor yang bergengsi.

Pada masa berikutnya, saat peran sepeda makin terdesak oleh beragam teknologi yang disandang kendaraan bermesin (mobil dan motor), sebagian orang mulai tertarik untuk melestarikan sejarah lewat koleksi sepeda antik. Rata-rata, sepeda lawas mereka keluaran pabrikan Eropa. Angka tahunnya antara 1940 sampai 1950-an. Dan mereka sangat cermat dalam merawatnya.

Di masyarakat kita, sepeda lawas itu dikenal dengan beberapa sebutan, seperti ontel, jengki, kumbang dan sundung. Kalau jengki itu kan asalnya dari kata jingke (bahasa Betawi, artinya berjinjit), jadi waktu naiknya kita harus berjingke saking tingginya. Kalau ontel, ya artinya diontel atau dikayuh.

Pengikut

 

Sahabat Sepeda | Blognya Sahabat Sepeda Cikampek Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger

Terima Kasih telah berkunjung di blognya Sahabat Sepeda Cikampek!